BUMI
(Tere Liye)
Sekarang serunya hanya sedikit, tidak sesering dulu. Sejak usia
belasan aku lebih dari tahu tanggung jawabku. Sekali-dua kali saja
isengku kambuh. Seperti pagi ini, aku sebenarnya sudah sejak tadi turun dari lantai dua rumah kami, rapi mengenakan seragam sekolah,
bergabung di meja makan. Tetapi karena bosan menunggu Papa turun,
daripada disuruh-suruh Mama, aku memutuskan ”bersembunyi”, iseng
menonton.
”Kamu sudah lama menunggu, Ra?” Papa bertanya, mengambil
koran pagi.
”Papa tahu tidak, tarif air PAM sekarang naik dua kali lipat?” Mama
lebih dulu memotong, berseru soal lain. Tangannya cekatan
memindahkan omelet ke atas piring.
”Oh ya?” Papa yang mulai membuka koran pagi mengangkat wajah.
”Itu artinya Papa jangan mandi lama-lama,” aku menyikut Papa,
berbisik pelan, membantu menjelaskan maksud celetukan Mama.
Papa ber-oh sebentar, tertawa, mengedipkan mata, pura-pura
mengernyit tidak bersalah. ”Siapa sih yang mandi lama-lama?”
”Memang selalu susah mengajak kalian bicara serius. Sudahlah,
mari kita sarapan,” Mama melotot, memotong kalimat Papa lagi, menarik
kursi. Semua hidangan sarapan sudah tersedia di atas meja. ”Kamu mau
sarapan apa, Ra?”
”Omelet terlezat sedunia, Ma. Minumnya segelas susu ini,” aku
menunjuk.
Mama tertawa yang segera membuat wajah segarnya kembali.
”Nah, Papa mau apa?”
Roti panggang penuh cinta,” Papa nyengir, meniru teladanku.
”Jangan gombal.” Mama melotot, meski di separuh wajahnya
tersungging senyum.
”Siapa yang gombal? Sekalian jus jeruk penuh kasih sayang.”
Aku tertawa. ”Tentu saja gombal, Pa. Jelas-jelas itu hanya roti dan
jus jeruk.”
Mama tidak berkomentar, menuangkan jus jeruk, ikut tertawa,
sedikit tersipu. Lantas Mama mengambil sisa makanan yang belum
diambil, meraih sendok dan garpu. Kami mulai sibuk dengan menu
masing-masing.
”Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci,” Mama bicara di sela
mulut mengunyah.
Papa menelan roti. ”Eh, sekarang rusak apanya?”
”Pengeringnya rusak, tidak bisa diisi penuh. Kadang malah tidak
bergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Mama menyerah, Pa. Beli
baru saja.”
Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut berkomentar.
Pembicaraan sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Itu lebih baik—
daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolah baruku, bertanya ini,
bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu, lantas membacakan sepuluh
peraturan paling penting di keluarga kami.
”Mau Papa temani ke toko elektronik nanti malam?”
Dua-tiga menit berlalu, mesin cuci masih jadi trending topic.
”Tidak usah. Nanti sore Mama bisa pergi sendiri. Sekalian mengurus
keperluan lain. Paling minta ditemani Ra. Eh, Ra mau menemani Mama,
kan?”
Papa mengangguk takzim. Mama memang selalu bisa diandalkan—
tadi waktu bilang sudah diotak-atik, itu bahkan berarti Mama sudah
berprofesi setengah montir amatir. Aku juga mengangguk sekilas, asyik
mengunyah ”omelet terlezat sedunia”.
Ponsel Papa tiba-tiba bergetar, menghentikan sarapan.
Papa menyambar ponselnya, melihat sekilas nama di layar. Aku dan
Mama bertatapan.
”Ya, halo.” Papa bicara sejenak, lantas menjawab pendek-pendek,
ya, oke, baik, ya, oke, baik. Papa meletakkan ponsel sambil menghela
napas panjang.
3
Halaman : <<Previous 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 Next >>
No comments:
Post a Comment