BUMI
(Tere Liye)
BAB 4
DEMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosok
kurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persis
di depanku—aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan,
refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapak
tanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali terlihat.
Kejadian itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh,
mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tiba
menyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, menyisakan hujan
deras sejauh mata memandang. Angin kencang membuat bendera di
lapangan sekolah berkelepak. Tempias air mengenai lorong lantai dua
tepercik ke wajahku yang setengah pucat.
Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihat
sosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bahkan aku
ingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah dia
sekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksa
semua kemungkinan. Aku hendak beranjak mendekati tepi lorong, tidak
peduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku.
”Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuat
kakiku berhenti.
Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat di
belakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresi
wajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik sekali.
Sedangkan ekspresi wajahku pasti sebaliknya.
”Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?” Ali mendekat,
wajahnya menyelidik.
Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding lorong.
Kenapa pula urusan ini harus terjadi dalam waktu bersamaan? Kenapa
pula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, janganjangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan kedua
telapak tangan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup mata
sebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengan
tatapan mata Ali yang penuh rasa ingin tahu.
”Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?” Ali bahkan sekarang
menyelidik seluruh tubuhku. ”Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada di
sini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Ini
menarik sekali.”
”Apanya yang menarik?” Aku membalas tatapan menyelidik Ali,
pura-pura tidak mengerti.
”Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra,” Ali tidak mudah
percaya.
”Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?” aku
akhirnya berseru ketus.
”Kamu tidak bisa membohongiku.” Ali nyengir lebar. ”Aku memang
pemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagian
kecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakin
seratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun di
lorong. Lantas petir menyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tiba
muncul. Aku yakin sekali.”
Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Ali
dengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Dia
memang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajaran
tertentu dia bisa membuat guru-guru terdiam hanya karena pertanyaan
masa bodohnya.
”Bagaimana kamu melakukannya?”
”Aku tidak melakukan apa pun.”
”Kamu jangan bohong, Ra.” Ali menatapku seperti sedang menatap
anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar.
10
No comments:
Post a Comment