Novel Bumi Tere Liye Halaman 10

BUMI

(Tere Liye)



BAB 4


          DEMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosok kurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persis di depanku—aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan, refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapak tanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali terlihat. Kejadian itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh, mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tiba menyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, me­nyisa­kan hujan deras sejauh mata memandang. Angin kencang mem­buat bendera di lapangan sekolah berkelepak. Tempias air me­ngenai lorong lantai dua tepercik ke wajahku yang setengah pucat.

          Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihat sosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bah­kan aku ingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah dia sekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksa semua kemungkinan. Aku hendak ber­anjak mendekati tepi lorong, tidak peduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku.

          ”Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuat kakiku berhenti.

          Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat di belakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresi wajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik sekali. Sedangkan ekspresi wajahku pasti sebaliknya.

          ”Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?” Ali mendekat, wajahnya menyelidik.

          Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding lorong. Kenapa pula urusan ini harus terjadi dalam waktu ber­samaan? Kenapa pula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, janganjangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan kedua telapak ta­ngan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup mata sebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengan tatap­an mata Ali yang penuh rasa ingin tahu.

         ”Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?” Ali bahkan sekarang menyelidik seluruh tubuhku. ”Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada di sini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Ini menarik sekali.”

          ”Apanya yang menarik?” Aku membalas tatapan menyelidik Ali, pura-pura tidak mengerti.

          ”Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra,” Ali tidak mudah percaya.

          ”Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?” aku akhirnya berseru ketus.

          ”Kamu tidak bisa membohongiku.” Ali nyengir lebar. ”Aku me­mang pemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagian kecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakin seratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun di lorong. Lantas petir me­nyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tiba muncul. Aku yakin sekali.”

          Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Ali dengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Dia memang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajaran tertentu dia bisa membuat guru-guru ter­diam hanya karena pertanyaan masa bodohnya.

          ”Bagaimana kamu melakukannya?”

          ”Aku tidak melakukan apa pun.”

          ”Kamu jangan bohong, Ra.” Ali menatapku seperti sedang menatap anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar.


10


No comments:

Post a Comment