BUMI
(Tere Liye)
”Keluarkan buku PR kalian. Sekarang.” Kalimat standar pembuka
pelajaran Miss Keriting.
Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Aku
seketika tertegun. Di mana buku PR matematikaku? Aduh, ini sepertinya
akan menjadi pagi yang buruk. Aku menumpahkan buku dari dalam tas.
”Ada apa, Ra?” Seli bertanya.
Aku tidak menjawab, berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal di
kamar. Aku menyeka dahi, gerah. Aku ingat sekali tadi malam sudah
mengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja. Tadi pagi, saat
Papa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya.
”Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibu
periksa.” Suara tegas Miss Keriting membuatku menghela napas
tertahan.
”Ayo, maju. Sekarang!” Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami.
Aku menggigit bibir. Mau apa lagi? Aku melangkah ke depan.
”Ra?” Seli menatapku bingung.
Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapan
teman-teman.
”Kamu tidak mengerjakan PR, Ra?” Miss Keriting menatapku tajam.
”Saya mengerjakan PR, Bu.”
”Lantas kenapa kamu maju ke depan?”
”Saya lupa membawa bukunya.”
Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja, lalu terdiam saat
Miss Keriting mengangkat tangan.
Miss Keriting menatapku lamat-lamat. ”Itu sama saja dengan tidak
mengerjakan PR. Dengan amat menyesal, kamu terpaksa Ibu keluarkan
dari kelas. Kamu menunggu di lorong selama pelajaran berlangsung.
Paham?” Suara Miss Keriting sebenarnya tidak menunjukkan intonasi ”menyesal”, karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, dia
kembali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, membiarkanku
beranjak gontai ke bingkai pintu kelas.
Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengar
menggelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan
lembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik di
lorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susah
payah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masih
dua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian di
lorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkan
meski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman.
Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kali
menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah
sepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitam
itu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas,
suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripada
biasanya.
Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramai
teman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapa
menit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Dia
memperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. Miss
Keriting tanpa ampun juga ”mengusirnya”. Aku mengeluh melihat Ali
melangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yang
lengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya di
lorong? Aku menyeka dahi yang berkeringat—yang membuatku
melupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahal
dingin udara terasa mencekam.
Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok
itu.
Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah,
sebelum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapak
tanganku, meletakkannya di wajah.
Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat,
mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerakan tanganku menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan suram.
Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangan
sekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilang
sempurna saat telapak tanganku menutupi wajah.
Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,
memperhatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mungkin
sedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Dia
mengomel sendirian, melintasiku. ”Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa,
tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.” Aku
menahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak iseng
menambahi kesalnya dengan mengait kakinya.
”Halo, Gadis Kecil.”
Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambar
terang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telah
berdiri di depanku. Matanya menatap memesona.
*****
9
No comments:
Post a Comment