Novel Bumi Tere Liye Halaman 9

BUMI

(Tere Liye)





          ”Keluarkan buku PR kalian. Sekarang.” Kalimat standar pembuka pelajaran Miss Keriting.

          Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Aku seketika tertegun. Di mana buku PR matematikaku? Aduh, ini sepertinya akan menjadi pagi yang buruk. Aku me­numpahkan buku dari dalam tas.

          ”Ada apa, Ra?” Seli bertanya.

         Aku tidak menjawab, berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal di kamar. Aku menyeka dahi, gerah. Aku ingat sekali tadi malam sudah mengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja. Tadi pagi, saat Papa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya.

          ”Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibu periksa.” Suara tegas Miss Keriting membuatku meng­hela napas tertahan.

          ”Ayo, maju. Sekarang!” Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami.

          Aku menggigit bibir. Mau apa lagi? Aku melangkah ke de­pan.

          ”Ra?” Seli menatapku bingung.

          Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapan teman-teman.

          ”Kamu tidak mengerjakan PR, Ra?” Miss Keriting menatapku tajam.

          ”Saya mengerjakan PR, Bu.”

          ”Lantas kenapa kamu maju ke depan?”

          ”Saya lupa membawa bukunya.”

        Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja, lalu terdiam saat Miss Keriting mengangkat tangan.

          Miss Keriting menatapku lamat-lamat. ”Itu sama saja dengan tidak mengerjakan PR. Dengan amat menyesal, kamu terpaksa Ibu keluarkan dari kelas. Kamu menunggu di lorong selama pelajaran berlangsung. Paham?” Suara Miss Keriting sebenarnya tidak menunjukkan intonasi ”menyesal”, karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, dia kem­bali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, mem­biar­kanku beranjak gontai ke bingkai pintu kelas.

          Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengar meng­gelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan lembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik di lorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susah payah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masih dua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian di lorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkan meski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman.

          Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kali menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah sepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitam itu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas, suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripada biasanya.

         Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramai teman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapa menit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Dia memperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. Miss Keriting tanpa ampun juga ”mengusirnya”. Aku mengeluh melihat Ali melangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yang lengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya di lorong? Aku me­nyeka dahi yang berkeringat—yang membuatku melupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahal dingin udara terasa mencekam.

          Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok itu.

     Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah, se­belum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapak tanganku, meletakkannya di wajah.

          Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat, mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerak­an tanganku menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan suram. Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangan sekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilang sempurna saat telapak tanganku menutupi wajah.

          Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari, mem­per­hatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mung­kin sedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Dia mengomel sendirian, melintasiku. ”Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa, tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.” Aku menahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak iseng menambahi kesalnya dengan mengait kakinya.

          ”Halo, Gadis Kecil.”

          Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambar terang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telah berdiri di depanku. Matanya menatap memesona.


*****

9


No comments:

Post a Comment