Novel Bumi Tere Liye Halaman 2

BUMI

(Tere Liye)



BAB 2


          ADUH, Ra, berhentilah mengagetkan Mama!” Mama berseru, wajahnya pucat.

        Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, bergabung di meja makan, tertawa melihat Mama yang sedang mengelus dada dan mengembuskan napas.

          Mama menatapku kesal.

          ”Sejak kapan kamu sudah duduk di depan meja makan?”

          ”Dari tadi, Ma.” Aku ringan mengangkat bahu, meraih kotak susu.

       ”Bukannya kamu tadi masih di kamar? Berkali-kali Mama te­riaki kamu agar turun, sarapan. Sampai serak suara Mama. Ini sudah hampir setengah enam. Nanti terlambat. Eh, ternyata kamu sudah di sini?” Mama menghela napas sekejap, lantas di kejap berikut­nya, tanpa menunggu jawabanku, sudah gesit mengangkat roti dari pemanggang, masih bersungut-sungut. Celemeknya terlihat miring, ada satu-dua noda yang tidak hilang setelah dicuci ber­kali-kali. Rambut di dahinya berantakan, menutupi pelipis. Mama gesit sekali bekerja.

          ”Ra sudah dari tadi duduk di sini kok. Mama saja yang nggak lihat.” Aku menuangkan susu ke gelas. ”Beneran.”

     ”Berhenti menggoda mamamu, Ra.” Papa memperbaiki dasi, me­narik kursi, duduk, lalu tersenyum. ”Mamamu itu selalu tidak mem­perhatikan sekitar, sejak kamu kecil. Selalu begitu.”

          Aku membalas senyum Papa dengan senyum tanggung.

          Itu adalah penjelasan sederhana Papa atas keanehan keluarga kami sejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak permainan petak umpet yang tidak seru. Sesimpel itu. Mama tidak memperhatikan sekitar dengan baik. Padahal, kalau aku sedang bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atau sedang iseng, aku menutupi wajahku dengan telapak tangan, menghilang.

          Seperti pagi ini, Mama ber­teriak membangunkan Papa dan meneriakiku agar bergegas. Mama sibuk memulai hari, menyiapkan sarapan, dan membereskan kamar. Mama selalu begitu, terlihat sibuk. Terlepas dari peraturannya aku benci peraturan-peraturan Mama yang kalau dibukukan bisa setebal novel Mama ibu rumah tangga yang hebat, cekat­an, mengurus semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpa pembantu.

          Dulu, sambil menunggu Papa turun bergabung ke meja makan, aku suka memperhatikan Mama bekerja di dapur. Tentu saja kalau aku hanya duduk bengong menonton, paling bertahan tiga detik, sebelum Mama segera melemparkan celemek, me­nyuruhku membantu. Jadi, untuk menghindari disuruh mencuci wajan dan sebagainya, aku iseng ”menonton” sambil bertopang tangan di meja dengan kedua telapak tangan menutupi wajah, membuat tubuhku menghilang sempurna, mengintip Mama yang sibuk bekerja.

          Mama sibuk meneriakiku, ”Raaa! Turun, sudah siang.” Lantas dia mengomel sendiri, bicara dengan wajan panas di depannya, ”Anak gadis remaja sekarang selalu bangun kesiangan. Alangkah susah mendidik anak itu.” Lantas dia menoleh lagi ke atas, ke anak tangga, berteriak, ”Papaaa! Turun, sudah jam enam lewat. Bukankah ada rapat penting di kantor?” Lantas dia mengomel lagi sendirian, bicara dengan wajan panas lagi, sambil membalik omelet, ”Kalau mandi selalu saja lama. Contoh yang buruk. Bagai­mana­ Ra akan bisa tangkas mengerjakan pekerjaan rumah kalau papanya juga selalu santai. Anak sama papa sama saja kelaku­an­nya.”

          Dulu aku suka tertawa melihat Mama mengomel sendiri. Lucu sekali. Aku mengintip dari balik jari, bersembunyi, sambil menguap karena masih mengantuk walau telah mandi. Aku bisa bermenit-menit diam, bertopang tangan, menonton Mama. Itu mem­buatku tidak perlu bekerja pagi-pagi membantunya, sekali­gus tahu banyak rahasia, misalnya apakah aku jadi dibelikan se­peda atau tidak, apa hadiah ulang tahunku besok, dan sebagai­nya.


2


Halaman : <<Previous   1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   . . . . .   20   Next >>

[BAB 1]   [BAB 2]   [BAB 3]   [BAB 4]   [BAB 5]   [BAB 6]   [BAB 7]   [BAB 8]   [BAB 9]   [BAB 10]

No comments:

Post a Comment