BUMI
(Tere Liye)
”Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskan
sarapan bersama. Tiga puluh menit lagi Papa harus segera ada di kantor.
Tuan Direktur memanggil.”
Tuan Direktur? Aku menepuk jidat. Selalu begitu.
Papa tertawa. ”Ayolah, Papa harus bergegas, Ra. Papa janji, Ma,
gantinya kita makan malam bersama nanti.”
Mama menghela napas tipis. Kecewa.
Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belum
sepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, harus berangkat ke
sekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut buru-buru.
Mereka telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok, beranjak
berdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan keperluan
sekolah.
”Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa.”
”Tentu saja. Bila perlu, Papa akan sarapan sambil rapat dengan
Tuan Direktur. Itu pasti akan menarik.” Papa mengedipkan mata,
bergurau.
Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah. ”Papa
tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita: sarapan selalu
penting.” Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama tersenyum.
Papa memang sedang berada di titik paling penting karier
pekerjaannya—setidaknya demikian kalau Papa menjelaskan kenapa dia
harus pulang larut malam, kenapa dia harus bergegas pagi-pagi sekali.
”Papa harus berhasil melewati fase ini dengan baik, Ra. Sekali Papa
berhasil memenangkan hati pemilik perusahaan, karier Papa akan
melesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih tinggi. Keluarga kita harus
kompak mendukung, termasuk kamu. Toh pada akhirnya kamu juga yang
diuntungkan. Mau liburan ke mana? Mau beli apa? Semua beres.”
Aku hanya bisa mengangguk, setengah paham (soal jalan-jalan
atau belanja), setengah tidak (soal memenangkan hati pemilik
perusahaan).
”Dasi Papa miring.” Mama menunjuk, beranjak mendekat,
memperbaiki.
”Terima kasih.” Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan.
”Celemek Mama juga miring.” Papa ikut memperbaiki, meski sekali lagi
melirik pergelangan tangan.
”Jangan pulang larut malam, Pa.”
”Mama lupa ya? Kan tadi Papa bilang nanti malam kita makan
malam bersama. Spesial. Tidak akan terlambat.” Papa mendongak.
”Alangkah lamanya anak itu mengambil tas sekolah.”
”Tentu saja.”
”Tentu saja apanya?”
”Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melakukan
sesuatu, dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu.” Mama
tersenyum simpul.
”Oh, itu entahlah meniru siapa.” Papa pura-pura tidak mengerti,
sambil ketiga kalinya melirik jam tangan. ”Yang Papa tahu, anak itu
cantiknya meniru siapa.”
Mama tersipu. Mereka berdua tertawa.
Papa melihat jamnya lagi, mengeluh. ”Lima menit? Lama sekali
anak itu mengambil…”
”Ra sudah selesai dari tadi kok.” Aku nyengir, menurunkan telapak
tangan.
”Eh? Ra?” Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku tiba-tiba
sudah berdiri di anak tangga terakhir. ”Bagaimana kamu sudah ada di
sana? Kamu selalu saja mengejutkan orangtua.” Papa bersungut-sungut,
meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas.
”Jangan menggoda papamu, Ra. Dia selalu saja tidak
memperhatikan. Sejak kamu kecil malah.” Sekarang giliran Mama yang
menggunakan kalimat itu, tersenyum.
4
No comments:
Post a Comment