Novel Bumi Tere Liye Halaman 4

BUMI

(Tere Liye)






          ”Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskan sarapan bersama. Tiga puluh menit lagi Papa harus segera ada di kantor. Tuan Direktur memanggil.”

            Tuan Direktur? Aku menepuk jidat. Selalu begitu.

          Papa tertawa. ”Ayolah, Papa harus bergegas, Ra. Papa janji, Ma, gantinya kita makan malam bersama nanti.”

           Mama menghela napas tipis. Kecewa.

       Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belum sepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, ha­rus berangkat ke sekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut buru-buru. Mereka telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok, beranjak berdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan keperluan sekolah.

          ”Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa.”

        ”Tentu saja. Bila perlu, Papa akan sarapan sambil rapat dengan Tuan Direktur. Itu pasti akan menarik.” Papa mengedip­kan mata, bergurau.

       Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah. ”Papa tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita: sarapan selalu penting.” Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama tersenyum.

          Papa memang sedang berada di titik paling penting karier pekerjaannya—setidaknya demikian kalau Papa menjelaskan kenapa dia harus pulang larut malam, kenapa dia harus bergegas pagi-pagi sekali. ”Papa harus berhasil melewati fase ini dengan baik, Ra. Sekali Papa berhasil memenangkan hati pemilik per­usahaan, karier Papa akan melesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih tinggi. Keluarga kita harus kompak mendukung, termasuk kamu. Toh pada akhirnya kamu juga yang diuntungkan. Mau liburan ke mana? Mau beli apa? Semua beres.”

        Aku hanya bisa meng­angguk, setengah paham (soal jalan-jalan atau belanja), se­tengah tidak (soal memenangkan hati pemilik perusahaan).

          ”Dasi Papa miring.” Mama menunjuk, beranjak mendekat, memperbaiki.

       ”Terima kasih.” Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan. ”Celemek Mama juga miring.” Papa ikut memperbaiki, meski sekali lagi melirik pergelangan tangan.

          ”Jangan pulang larut malam, Pa.”

          ”Mama lupa ya? Kan tadi Papa bilang nanti malam kita makan malam bersama. Spesial. Tidak akan terlambat.” Papa men­dongak. ”Alangkah lamanya anak itu mengambil tas se­ko­lah.”

          ”Tentu saja.”

          ”Tentu saja apanya?”

          ”Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melaku­kan sesuatu, dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu.” Mama tersenyum simpul.

          ”Oh, itu entahlah meniru siapa.” Papa pura-pura tidak me­ngerti, sambil ketiga kalinya melirik jam tangan. ”Yang Papa tahu, anak itu cantiknya meniru siapa.”

          Mama tersipu. Mereka berdua tertawa.

         Papa melihat jamnya lagi, mengeluh. ”Lima menit? Lama sekali anak itu mengambil…”

          ”Ra sudah selesai dari tadi kok.” Aku nyengir, menurunkan telapak tangan.

         ”Eh? Ra?” Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku tiba-tiba sudah berdiri di anak tangga terakhir. ”Bagaimana kamu sudah ada di sana? Kamu selalu saja mengejutkan orang­tua.” Papa bersungut-sungut, meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas.

         ”Jangan menggoda papamu, Ra. Dia selalu saja tidak mem­per­hatikan. Sejak kamu kecil malah.” Sekarang giliran Mama yang menggunakan kalimat itu, tersenyum.


4




No comments:

Post a Comment