Novel Bumi Tere Liye Halaman 6

BUMI

(Tere Liye)



BAB 3


          GERIMIS turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papa mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Aku menatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka hujan. Menatap butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan.

          ”Kamu nanti pulang sore?” Papa bertanya, tangannya menekan klakson, ada angkutan umum mengetem sembarangan, meng­hambat lalu lintas pagi yang mulai macet di depan.

       ”Tidak ada les, Pa. Ra langsung pulang dari sekolah,” aku men­jawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap.

          ”Oh. Berarti kamu bisa ya, menemani Mama ke toko elektronik?”

          Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin.

       ”Mesin cuci itu. Kamu pernah memikirkannya, Ra?” Papa sepertinya masih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi. Ia menekan klakson, menyuruh dua motor di depan yang sembarangan menyelip di tengah kemacetan agar menyingkir.

          ”Ya?” Aku ikut menatap ke depan.

          ”Usianya sudah lima tahun, bukan?” Papa tertawa kecil, mem­bayangkan sekaligus berhitung.

          ”Ya?”

         ”Kamu tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaian sebanyak dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebih dari 36.000 potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, minta diganti. Hebat, bukan?”

         Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja kami lewati. Ada lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutan umum dan beberapa pekerja kantoran. Lampu kendara­an menyala, kedip-kedip. Beberapa pedagang asongan berdiri dan seorang pengamen membiarkan gitarnya tersampir di pun­dak. Pemandangan yang biasa sebenarnya, tapi hujan gerimis membuat suasana terlihat berbeda.

          ”Konsisten. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yang lebih tepat. Kamu tahu, Ra, persisten membuat kita bisa melakukan hal hebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapi dalam waktu lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba kamu bayangkan 36.000 potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruh department store besar.” Papa tertawa lagi.

          Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalu suka ”menasihatiku” dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara hal unik pada pagi yang basah menuju sekolah ini. Mungkin orangtua kebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajak anak-anak remajanya bicara se­suatu, menasihati, dan berharap kalimatkalimat itu bekerja baik—meskipun hanya urusan mesin cuci. Terlepas dari kesibuk­annya—juga topik pembicaraan yang kadang tidak me­nyambung dengan situasi—bagiku Papa menyenangkan. Dia se­lalu ada saat aku butuh seorang papa.

          ”Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagi yang hebat.”

          ”Oh ya?” Aku memperhatikan wajah Papa yang riang.

          ”Coba kamu hitung. Jika setiap hari Mama mencuci lima potong pakaianmu, maka selama lima belas tahun terakhir, di­hitung sejak kamu bayi, itu jumlahnya sekitar, eh, 30.000 potong lebih. Atau, untuk Papa, tujuh belas tahun sejak menikah, angka­nya lebih banyak lagi. Bisa 40.000 potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan? Total 70.000 potong lebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry ke kita ya, Ra? Kalau satu potong Mama tarik seribu perak saja, wuih, banyak sekali tagih­annya.” Papa tertawa.

          Aku ikut tertawa, mengangguk.

          Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hingga mobil yang dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. Gerimis menderas, para siswa yang satu sekolah denganku ber­hamburan turun dari angkutan umum, mobil pribadi, motor, atau jalan kaki. Mereka bergegas masuk menuju bangunan yang kering.


6


No comments:

Post a Comment