Novel Bumi Tere Liye Halaman 8

BUMI

(Tere Liye)





          ”Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel.” Aku menyeka wajah yang basah oleh gerimis.

          ”Cepat, Ra, sebentar lagi bel.” Seli sudah berlari-lari kecil melintasi gerbang sekolah.

          Aku mengembangkan payungku, menyusul langkah Seli, me­nyejajarinya.

       ”Kamu sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?” Seli me­noleh, wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika aku menjawab tidak.

          Aku tertawa. ”Sudah dong.”

      ”Oh, syukurlah.” Seli ikut menghela napas lega. ”Aku baru tadi subuh menyelesaikannya. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyik nonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang tidak mengerjakan PR-nya lagi. Iya kalau cuma dimarahi, kalau disuruh berdiri di dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, bukan?”

      Aku tidak berkomentar, menguncupkan payung. Kami sudah tiba di bangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Kelas sepuluh terletak di lantai dua bangunan sekolah. Bel berdering persis saat kami hendak naik tangga, mem­buyar­kan dengung suara keramaian anak-anak bercampur suara ge­rimis. Sialnya, saat bergegas menaiki anak tangga, Seli ber­tabrak­an dengan teman lain yang juga bergegas.

          ”Heh, lihat-lihat dong!” Seli berseru ketus.

          ”Kamu yang seharusnya lihat!” yang ditabrak balas berseru ketus.

          ”Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?” Seli melotot.

          ”Duluan dari mana? Aku lebih cepat.”

          ”Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!” suara Seli melengking.

         Aku menyikut Seli, memberi kode, cueki saja. Pertama, ka­rena sudah bel, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kami tidak akan merusak mood pagi yang menyenangkan dengan ber­tengkar dengan Ali teman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah. Lihatlah, Ali hanya cengar-cengir, tidak peduli. Dia sejenak menatap Seli, lantas bergegas menaiki sisa anak tangga. Dia sama sekali tidak merasa bersalah.

         ”Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Janganjangan matanya ditaruh di dengkul,” Seli mengomel pelan, menepuk lengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga.

       Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dari ruang guru, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambat saat pelajaran dimulai.

          ”Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel,” aku berbisik, menahan tawa.

          ”Memangnya di mana?”

          ”Di pantat kayaknya.”

         Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-lari melintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anak lain sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihat menggaruk kepala. Seperti biasa, kemeja se­ragam­nya berantakan, dimasukkan separuh. Aku hanya melihat selintas—paling juga si biang kerok itu sedang mencari buku PR-nya.

          Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba di pintu kelas. Dalam satu bulan, semua murid baru sekolah ini tahu dialah guru paling galak di sekolah. Wajahnya jarang tersenyum, suaranya tegas, dan hukumannya selalu mem­buat murid merasa malu. Aku sebenarnya tidak punya masalah dengan guru galak, tapi itu tetap bukan kabar baik bagiku, karena Miss Keriting mengajar matematika, pelajaran yang tidak terlalu kukuasai.

          ”Pagi, anak-anak,” Miss Keriting memecah suara hujan.

          Kami menjawab salam.


8


No comments:

Post a Comment