BUMI
(Tere Liye)
”Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel.” Aku menyeka wajah yang basah
oleh gerimis.
”Cepat, Ra, sebentar lagi bel.” Seli sudah berlari-lari kecil melintasi
gerbang sekolah.
Aku mengembangkan payungku, menyusul langkah Seli,
menyejajarinya.
”Kamu sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?” Seli menoleh,
wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika aku
menjawab tidak.
Aku tertawa. ”Sudah dong.”
”Oh, syukurlah.” Seli ikut menghela napas lega. ”Aku baru tadi
subuh menyelesaikannya. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyik
nonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang tidak
mengerjakan PR-nya lagi. Iya kalau cuma dimarahi, kalau disuruh berdiri
di dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, bukan?”
Aku tidak berkomentar, menguncupkan payung. Kami sudah tiba di
bangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Kelas
sepuluh terletak di lantai dua bangunan sekolah. Bel berdering persis saat
kami hendak naik tangga, membuyarkan dengung suara keramaian
anak-anak bercampur suara gerimis. Sialnya, saat bergegas menaiki
anak tangga, Seli bertabrakan dengan teman lain yang juga bergegas.
”Heh, lihat-lihat dong!” Seli berseru ketus.
”Kamu yang seharusnya lihat!” yang ditabrak balas berseru ketus.
”Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?” Seli melotot.
”Duluan dari mana? Aku lebih cepat.”
”Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!” suara
Seli melengking.
Aku menyikut Seli, memberi kode, cueki saja. Pertama, karena
sudah bel, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kami tidak akan
merusak mood pagi yang menyenangkan dengan bertengkar dengan Ali
teman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah. Lihatlah, Ali
hanya cengar-cengir, tidak peduli. Dia sejenak menatap Seli, lantas
bergegas menaiki sisa anak tangga. Dia sama sekali tidak merasa
bersalah.
”Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Janganjangan matanya ditaruh di dengkul,” Seli mengomel pelan, menepuk
lengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga.
Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dari
ruang guru, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambat
saat pelajaran dimulai.
”Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel,” aku berbisik,
menahan tawa.
”Memangnya di mana?”
”Di pantat kayaknya.”
Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-lari
melintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anak
lain sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihat
menggaruk kepala. Seperti biasa, kemeja seragamnya berantakan,
dimasukkan separuh. Aku hanya melihat selintas—paling juga si biang
kerok itu sedang mencari buku PR-nya.
Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba di
pintu kelas. Dalam satu bulan, semua murid baru sekolah ini tahu dialah
guru paling galak di sekolah. Wajahnya jarang tersenyum, suaranya tegas,
dan hukumannya selalu membuat murid merasa malu. Aku sebenarnya
tidak punya masalah dengan guru galak, tapi itu tetap bukan kabar baik
bagiku, karena Miss Keriting mengajar matematika, pelajaran yang tidak
terlalu kukuasai.
”Pagi, anak-anak,” Miss Keriting memecah suara hujan.
Kami menjawab salam.
8
No comments:
Post a Comment