BUMI
(Tere Liye)
BAB 1
NAMAKU Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belas
tahun. Aku anak tunggal, perempuan. Untuk remaja seumuranku, tidak
ada yang spesial tentangku. Aku berambut hitam, panjang, dan lurus.
Aku suka membaca dan mempunyai dua ekor kucing di rumah. Aku
bukan anak yang pintar, apalagi populer. Aku hanya kenal teman-teman
sekelas, itu pun seputar anak perempuan. Nilaiku rata-rata, tidak ada
yang terlalu cemerlang, kecuali pelajaran bahasa aku amat menyukainya.
Di kelas sepuluh sekolah baru ini, aku lebih suka menyendiri dan
memperhatikan, menonton teman-teman bermain basket. Aku duduk
diam di keramaian di kantin, di depan kelas, dan di lapangan. Sebenarnya
sejak kecil aku terbilang anak pemalu. Tidak pemalu-pemalu sekali
memang, meskipun satu-dua kali jadi bahan tertawaan teman atau
kerabat. Normal-normal saja, tapi sungguh urusan pemalu inilah yang
membuatku berbeda dari remaja kebanyakan.
Aku ternyata amat berbeda. Aku memiliki kekuatan. Aku tahu itu
sejak masih kecil meskipun hingga hari ini kedua orangtuaku, temanteman dekatku tidak tahu.
Waktu usiaku dua tahun, aku suka sekali bermain petak umpet.
Orangtuaku pura-pura bersembunyi, lantas aku sibuk mencari. Aku
tertawa saat menemukan mereka. Kemudian giliranku bersembunyi.
Kalian pernah melihat anak kecil usia dua tahun mencoba bersembunyi?
Kebanyakan mereka hanya berdiri di pojok kamar, atau di samping sofa,
atau di belakang meja, lantas menutupi wajah dengan kedua telapak
tangan. Mereka merasa itu sudah cukup sempurna untuk bersembunyi.
Kalau sudah menutupi wajah, gelap, sudah tersembunyi semua, padahal
tubuh mereka amat terlihat.
Aku juga melakukan hal yang sama saat Papa bilang, ”Raib, ayo
bersembunyi. Giliran Mama dan Papa yang jaga.” Maka aku tertawa
comel, berlari ke kamarku, berdiri di samping lemari, menutupi wajah
dengan kedua telapak tanganku.
Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum genap
dua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah kumainkan
dengan penuh antusias.
Namun, ternyata permainan itu tidak seru. Orangtuaku curang.
Waktu giliranku jaga dan mereka bersembunyi, aku selalu berhasil
menemukan mereka. Di balik gorden, di balik pot bunga besar, di
belakang apalah, aku bisa menemukan mereka meskipun sebenarnya aku
tahu dari suara mereka menahan tawa. Tetapi saat aku yang
bersembunyi, mereka tidak pernah berhasil menemukanku. Mereka
hanya sibuk memanggil-manggil namaku, tertawa, masuk kamarku,
sibuk memeriksa seluruh kamar. Mereka melewatkanku yang berdiri
persis di samping lemari.
Aku sebal. Aku mengintip dari balik jemari kedua telapak tanganku.
Orangtuaku pastilah pura-pura tidak melihatku. Bagaimana mungkin
mereka tidak melihatku? Itu berkali-kali terjadi. Saat aku bersembunyi di
ruang tengah, mereka juga berpura-pura tidak melihatku. Bahkan saat
aku hanya bersembunyi di tengah ruang keluarga rumah kami, menutup
wajah dengan telapak tangan, mereka juga pura-pura tidak melihatku.
Saat kesal, kulepaskan telapak tangan yang menutupi wajahku.
Mereka hanya berseru, ”Astaga, Raib? Kamu ternyata ada di situ?” atau
”Aduh, Raib, bagaimana kamu tiba-tiba ada di sini? Kami dari tadi
melewati tempat ini, tapi tidak melihatmu.” Lantas mereka memasang
wajah seperti terkejut melihatku yang berdiri polos. Mereka memasang
wajah tidak mengerti bagaimana aku bisa tiba-tiba muncul. Padahal aku
sungguh sebal menunggu kapan mereka akan berhenti berpura-pura
tidak melihatku.
Permainan petak umpet itu hanya bertahan satu-dua bulan. Aku
bosan.
Aku sungguh tidak menyadari saat itu. Itulah kali pertama
kekuatan itu muncul. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku mengerti
hingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan dari siapa pun hingga
usiaku lima belas. Aku tinggal menutupi wajahku dengan kedua telapak
tangan, berniat bersembunyi, maka seketika, seluruh tubuhku tidak
terlihat. Lenyap. Orangtuaku sungguh tidak punya ide bahwa anak perempuan mereka yang berusia kurang dari dua tahun bersembunyi
persis di depan mereka, berdiri di tengah karpet, mengintip dari sela-sela
jarinya.
Namaku Raib, gadis remaja usia lima belas tahun.
Aku bisa menghilang, dalam artian benar-benar menghilang.
*****
1
No comments:
Post a Comment